Rabu, 30 September 2009

SENI KARAWITAN




Sebagi salah satu seni yang khas di Indonesia, karawitan perlu dijaga keberadaanya. Untuk itu perlu ditumbuhkan semangat mencintai tradisi yang telah mengakar itu pada generasi muda, terutama anak.
Sayangnya, karawitan semakin hari justru makin dijauhi anak-anak, karena dianggap rumit, tua, dan kurang gaul.

“Mengenalkan karawitan pada anak perlu menyesuaikan zaman. Sekarang ini kalau memainkan karawitan mengiringi lagu Jawa mungkin terlalu rumit bagi anak. Jadi pendekatnnya bisa lewat lagu-lagu yang lebih populer, tapi mengemasnya dengan karawitan,” tutur Sukisno, praktisi karawitan dari Taman Budaya Yogyakarta.

Pernyataan itu disampaikan pada acara bertajuk Sarasehan Pembinaan Karawitan untuk Anak-anak SD se-kota Yogyakarta, di Aula Dinas Pendidikan Kota Jogja.

Kisno menambahkan, sudah bukan saatnya lagi para guru atau orangtua berlagak sangar atau sok galak dalam membuat anak-anak mau belajar seni karawitan. ”Cara persuasif yang mengikuti dunia anak-anak harus lebih diutamakan, karena karawitan ini soal rasa, dan itu tak bisa dipaksakan,” tambahnya.

Dalam acara yang diprakarsai Dewan Kebudayaan Kota (DKK) Jogja bekerjasama dengan Rembug Seni Budaya Tradisional Jawa (RSBTJ) dan Dinas Pendidikan Kota Jogja itu salah satu pembicara dari ISI Yogyakarta, Trusto, menuturkan, untuk mendekatkan seni karawitan sejak dini pada anak tak bisa asal-asalan.

”Materi dan metodologinya harus bisa menyesuaikan karakter si anak. Jika terlalu berat dan cara mengajarnya tak pas, bisa membuat si anak bosan dan tak mau belajar lagi,” tutur aktivis karawitan yang malang melintang ke luar negeri dengan seni karawitannya.

Belajar dari Australia, Trusto mengatakan, jika memungkinkan seseorang bisa memodifikasi bentuk alat-alat karawitan yang relatif besar sulit dijangkau anak-anak dengan tetap menjaga kualitas bunyinya.

”Misalnya alat bonang yang biasanya dipakai itu terlalu besar, dimodifikasi ulang dan akhirnya bisa dijangkau tangan anak-anak,” katanya, dalam sarasehan yang dihadiri sekitar 30 pelatih karawitan itu.

Ketua Bidang Seni Tradisional dari RSBTJ, R. Candra Kusuma, menyatakan, saat ini dunia karawitan di Sekolah Dasar di Jogja masih memprihatinkan. "Keberadaan guru karawitan di SD terbilang minim. Sejumlah SD memang punya instrumen karawitan, tapi belum dioptimalkan untuk pembinaan murid," kata Candra.

Minimnya sumber daya pengajar karawitan, kata Candra, menyebabkan instrumen semacam gamelan hanya jadi hiasan dan formalitas belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar